Home > Kata Kata > Cerpen Sedih - Aku dan Saudara Perempuanku
Cerpen Sedih - Aku dan Saudara Perempuanku
Posted on Sabtu, 06 Oktober 2012 by jentry tirta
Cerpen Sedih - Aku dan Saudara Perempuanku kali ini dapat kiriman Oleh : Innda Syahida merupakan sebuah cerpen sedih
yang sangat sedih tentunya dapat kita llihat dari cerita yang satu ini
tentunya temen temen sudah penasaran bukan dengan kiriman cerpen dari
temen kita, ya udah baca aja dech moga kalian suka yaacchhh
Cerpen Sedih
Aku dan Saudara Perempuanku
Aku dan saudara perempuanku, ia bernama Risti. Ia bukan hanya saudara
perempuanku, tetapi merupakan sebagian dari belahan tubuhku tatkala kami
dilahirkan dengan jarak waktu enam menit saja. Aku dan Risti adalah
saudara kembar identik dimana hampir semua yang ada pada bagian tubuh
kami memiliki kesamaan yang sulit dibedakan. Sama dalam fisik bukan
berarti sama dalam segala hal. Kenyataanya sifat kami terkadang jauh
berbeda, Risti adalah tipe gadis yang lebih suka terbuka secara frontal
sedangkan aku cenderung tertutup dan sulit untuk mengungkapkan sesuatu
secara terbuka. Dalam hal karir, entah mengapa ia bisa lebih sukses dari
aku.
Aku
dan Risti memang bekerja di bidang yang berbeda, ia lebih menyukai
design graphis dan bekerja disalah satu perusahaan advertising ternama
di Indonesia. Sedangkan aku lebih memilih menjadi seorang wartawan dan
menghabiskan hari-hariku bekerja di luar kantor tak peduli siang ataupun
malam. tapi terus terang saja, karier Risti dua kali lebih cepat
menanjak dibandingkan aku. Dia sudah mempunyai lima kartu kredit
berjajar di dompetnya, sedangkan aku hanya punya dua itupun annual fee.
Aku
dan Risti memang bekerja di bidang yang berbeda, ia lebih menyukai
design graphis dan bekerja disalah satu perusahaan advertising ternama
di Indonesia. Sedangkan aku lebih memilih menjadi seorang wartawan dan
menghabiskan hari-hariku bekerja di luar kantor tak peduli siang ataupun
malam. tapi terus terang saja, karier Risti dua kali lebih cepat
menanjak dibandingkan aku. Dia sudah mempunyai lima kartu kredit
berjajar di dompetnya, sedangkan aku hanya punya dua itupun annual fee.
Yahh ironis sekali terkadang, dan sekarang aku bukan lagi
mempermasalahkan kesuksesan dan kelebihan saudara kembarku sendiri,
melainkan persoalan cowok yang bisa dikatakan lebih mendidihkan emosi
serta kesakitan hatiku padanya. Bukan karena Risti tidak tahu menahu
tentang perasaanku pada Rayyan, untuk kedua kalinya dalam hidupku aku
mengatakan yang sejujurnya dan berani terbuka padanya bahwa aku sangat
mengagumi Rayyan, seorang pria sekaligus rekan kerja Risti yang pernah
ia kenalkan kepadaku tiga bulan lalu.
Aku seolah merasa bahwa pria itu adalah takdirku untuk menjadi pasangan
hidupku kelak, aku menyukai wajah tampannya, aku menyukai tutur katanya
yang lembut dan bijaksana, aku suka… aku suka segalanya yang ada pada
Rayyan, sampai-sampai sulit menjelaskan bagaimana perasaanku
terhadapnya. Setiap kali ia datang kerumah bersama Risti, mendengarkan
ia berbicara dan mengobrol bersamaku membuatku hampir kehilangan
kata-kata, aku jadi seperti anak autis yang hanya menjawab bila di
tanya, menunduk setiap kali Rayyan melihat mataku. Tapi benar-benar, ini
perasaan luar biasa yang pernah aku rasakan, aku seolah membabi buta
ketika menyadari bahwa Rayyan sepertinya tidak menyukaiku namun lebih
menyukai Risti. Aku sering memergoki mereka ngobrol lewat telfon, jalan
berdua dan mereka begitu dekat.
Gila! Padahal Risti sudah punya Bagas dan pria mana lagi yang harus ia
kencani. Jika aku sudah nekad, barangkali aku akan mengatakan semuanya
kepada Bagas tentang kedekatan Risti dengan Rayyan, karena aku ingin
tahu seberapa besar reaksi Bagas terhadap ini semua.
Ini hari minggu. Aku tahu bi Weih pasti akan membuatkan makanan untukku
dan Risti seperti biasa, setidaknya gorengan. Tidak ada peran ibu
dirumah ini, karena sejak dua tahun yang lalu mama memutuskan untuk
bekerja di Malaysia dan membuka butik produk Indonesia, entah kenapa,
padahal kami sudah mati-matian mencegah mama untuk bekerja di Negara
Melayu yang hubungannya cenderung tidak bersahabat dengan Indonesia.
Tapi itu sudah menjadi pilihannya, untuk meninggalkan kedua anak
gadisnya menjalani hidup di Jakarta hanya dengan seorang perempuan
setengah baya yang dengan sangat baik hatinya mengurusi kami.
“Mana goreng pisang Rasti, bi?” tanyaku pada bibi Weih yang sedang sibuk memotong rapi kue lapis.
“Kali ini kue lapis ya,mbak Ras… mbak Risti tadi yang minta katanya untuk tamunya.”
Aku sedikit manyun, tapi tak apalah tak semestinya memang kesukaanku yang harus dituruti bi Weih. “Memang siapa tamunya, bi?”
“mas Rayyan. Tuh lagi ngobrol di teras depan.”
Aku mendadak mendelikkan mata, hatiku meluap gembira lantas melesat
cepat ke arah teras, aku tidak pernah lupa merapikan rambutku yang
sedikit berantakkan lalu menyambut hangat Rayyan dengan senyuman
termanis. Mumpung tidak ada Risti, pikirku.
“Udah siap, Ris?” Tanya Rayyan.
“Ya ampun Rayyan… aku Rasti bukan Risti, masa belum hafal juga sih?”
ujarku mengkoreksi sambil duduk di kursi kosong tepat dihadapannya.
Paling tidak ini kesempatanku untuk bisa memandanginya lebih dekat.
Ia meringis senyum lantas tertawa kecil “oh, maaf… sumpah sampai sekarang aku sulit membedakan kalian berdua.”
“Gak apa-apa, aku maklum kok.” Kataku berbaik hati. “mmm.. memangnya kalian berdua mau pergi kemana?”
“Ada urusan sebentar. Kamu sendiri? Hari minggu gak pergi kemana-mana?”
“Enggak, lagi gak ada temen yang bisa diajak keluar, biasalah tanggal
tua.” Rayyanpun tertawa, dan obrolan kamipun berlanjut panjang sampai bi
Weih berhasil menghidangkan kue lapisnya untuk Rayyan. Namun lima belas
menit kemudian giliran Risti muncul di balik pintu dengan dandanan
mempesonanya.
Saat ia tersenyum pada Rayyan dan mengajaknya pergi, aku seolah melihat
pelacur di dalam diri Risti, kenapa sih ia tidak bisa sebentar saja
membiarkanku senang?
“Ras, aku pergi dulu ya sama Rayyan ada urusan sebentar, entar sebelum maghrib juga udah balik.”
Dan merekapun pergi, sedangkan Rayyan hanya meninggalkan senyum
terindahnya untukku. Setidaknya hanya itulah yang bisa membuat hatku
menjadi sedikit dingin.
***
Mendesahkan nafas adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk
bersabar. Ya… mungkin aku harus belajar mengalah dan ikhlas pada adik
perempuanku, kalaupun ia lebih menyukai Rayyan, bagaimanapun caranya aku
harus bisa menerima itu semua. Aku melamun sejenak, memandangi PS3. Aku
rindu saat-saat seru dimana aku dan Risti memainkan game Atelier
Meruru. namun seketika lamunanku buyar tatkala mendengar telfon di ruang
tengah berdering tak henti-henti. Akupun dengan berat hati menjawabnya.
“Hallo? Oh.. Rayyan, ada apa yan?” tanyaku sedikit terkejut setelah tahu
bahwa ada suara pria itu lagi dibalik telfon sana. Tapi sayangnya, ia
menelfon untuk Risti dan bertanya mengenai janji mereka untuk pergi
keluar. Sambil mendesahkan nafas, akupun terpaksa ke kamar Risti untuk
menyerahkan telfon.
Risti ada di atas kasurnya, duduk dengan menyelonjorkan kaki seperti
orang tak berdaya. “Rayyan telfon, Ris!” ujarku sambil menyerahkan
telfon itu.
“Rayyan?” Wajahnya menampakkan raut kebingungan, nafasnya naik turun tak
teratur, sepertinya penyakit sesak nafasnya kambuh lagi, tapi ia
berusaha untuk bisa bernafas dengan baik. Aku masih tetap berada disitu
mendengarkan percakapan mereka lewat telfon meskipun aku tidak bisa
mendengar suara Rayyan. Tapi barusan saja ku dengar Risti menyetujui
rencana kencannya lantas menyudahi pembicaraan.
“Risti, asmamu kambuh lagi?” tanyaku cemas, sungguh aku tidak tega
melihat wajahnya yang sangat pucat itu. “sebaiknya kamu gak usah pergi,
nanti tambah parah. Ini pasti karena akhir-akhir ini kerja lembur terus
makanya kambuh, harusnya kamu jaga kesehatan kamu donk.” Aku mengomel
seperti ibu guru yang sedang menghukum siswanya.
“Udah, aku enggak apa-apa kok, aku Cuma butuh bantuan kamu.” Pintanya,
akupun duduk di sampingnya untuk mendengarkan. “kamu maukan menggantikan
aku buat ketemu sama Rayyan?”
“HAHH!!” aku terkejut, ini ide gila pikirku. “mana mungkin, Ris! Masa aku yang pergi.”
“Tolong, Ras aku gak bisa pergi dalam keadaan seperti ini, untuk kali ini saja kumohon.”
“Tapi bagaimana nanti kalau Rayyan tahu aku bukan kamu, dia pasti akan sangat kecewa dan, apa lagi aku, aku pasti malu.”
Risti menarik nafasnya kesulitan, bagaimana bisa wajahnya semakin pucat
seperti itu. “Enggak, Ras! Rayyan gak akan tahu, percayalah”
Aku berpikir keras, aku sangat ingin membantunya tapi disisi lain aku
tidak tega meninggalkan Risti dalam keadaan seperti ini, meski beberapa
hari ini hubunganku dengan Risti tidak begitu baik, tapi aku tetap
mencemaskannya. Sejak dulu Risti memang sering sakit-sakitan, tubuhya
lebih lemah daripada aku. Tapi sepertinya ini adalah permintaan yang
sangat serius, akhirnya mau tidak mau akupun menyetujui keinginannya.
Pukul delapan malam, akhirnya dengan sangat berat hati aku pun pergi ke
café tempat dimana Risti memberi tahuku akan pertemuanku dengan Rayyan.
Sisi positifnya hanya pada poin dimana aku bisa bertemu dengan Rayyan,
tapi seharusnya tidak sebagai Risti, tapi Rasti.
Kulihat Rayyan telah duduk di meja nomor 21, duduk rapi dengan setelan
kemeja dan jacket kulit mahalnya. Subhanalloh… dia sungguh tampan.
Sumpah mati jantungku berdegup kencang sampai-sampai tenggorokanku
seolah tersumbat. Aku gugup, sangat gugup. Namun kuberanikan diri untuk
menghampirinya, sembari memastikan bahwa gaun pilihanku ini telah
membantuku untuk tampil sempurna,
“Hai Ray, udah nunggu lama?” tanyaku. Dan iapun berdiri sambil
tersenyum, ya Allah… senyum itu lagi. Untung aku sudah berpegangan pada
kursi, kalau tidak mungkin aku sudah jatuh terkulai akibat senyum si
tampan itu.
“Rasti, kamu cantik sekali malam ini.” Serasa sapaan itu membuatku kaget
kepalang tanggung. Belum apa-apa Rayyan sudah tahu kalau aku bukan
Risti.
“Aku Risti, Ray… bukan Rasti” sangkalku, tapi ia malah tertawa.
“Aku sudah tahu kamu Rasti, ini semua adalah rencana Risti supaya aku bisa bertemu denganmu. Anggap saja sebagai kejutan.”
Aku jadi merasa seperti orang tolol yang tak tahu apa-apa. Mengapa Rsiti
menyuruhku melakukan ini, ku akui ia telah berhasil mengelabuiku dengan
pura-pura sakit agar aku bisa menurunkan belas kasihan terhadapnya dan
menyetujui rencana tololnya ini. Gila saja, kali ini aku benar-benar
marah padanya.
Tapi tidak secepat itu, Rayyan menjelaskan semuanya. Tentang perasaannya
yang selama ini ia sembunyikan kepadaku, bahwa ia tak punya keberanian
untuk mengatakan bahwa ia juga sangat menyukaiku, bukan menyukai Risti.
Ia bercerita tentang alasan kenapa ia sering menelfon Risti dan pergi
bersama, ternyata hanya karena ia ingin tahu lebih dalam tentangku. Aku
terdiam mendengar semua itu, dan sama sekali tak bisa berkata apa- apa
saat Rayyan menyatakan cinta padaku. Dengan tutur lembutnya yang
membuatku hampir melayang dan sama sekali tak bisa menolak niatnya untuk
menjadikanku kekasihnya
Aku telah salah, menilai Risti. Seharusnya aku tidak bersikap dingin
terhadap saudara perempuanku, ia telah melakukan banyak hal untukku
terutama soal Rayyan. Saat aku pulang nanti aku pasti akan sangat
berterima kasih dan meminta maaf pada Risti, karna Ristilah aku dapat
menghabiskan malamku bersama Rayyan dengan sangat behagia. Rayyan
mengajakku nonton bioskop jam midnight, aku sampai lupa waktu sangking
bahagianya. Seakan lupa pada semuanya, lupa pada jam yang telah
menunjukkan hampir pagi. Saat Rayyan mengantarku pulang, aku terlalu
mengantuk sampai tak menyadari tubuhku tertidur di sofa.
“Mbak Rasti bangun mbak!” bi Weih berusaha membangunkanku, akupun
terpaksa membuka mata dan bangkit saat menyadari hari ternyata sudah
sangat cerah.
“Bibi?! Maaf aku ketiduran di sofa, Risti mana?” tanyaku masih dengan wajah linglung.
“Itu dia yang mau bibi kasih tahu, tadi malam mbak Risti masuk rumah sakit.”
“Apa!!” aku sangat terkejut dengan kabar barusan. “Risti masuk rumah
sakit? Kenapa bibi gak kasih tau Rasti dari tadi malam? Memangnya dia
kenapa”
“Tadi malam mbak Ris pingsan hampir kehilangan nafas mbak, kata dokter
penyakit jantung bawaanya kambuh lagi, mbak Risti sendiri yang gak
mengizinkan bibi buat telfon mbak Rasti, dia bilang nanti saja kalau
mbak Ras udah pulang, takut ganggu mbak Ras katanya.”
Ya Tuhan… sebegitu pedulinya Risti kepadaku. Disaat-saat ia sekarat
seperti itu, masih saja memikirkan kebahagiaanku. Seharusnya aku tidak
meninggalkannya, seharusnya kau bisa lebih menjaganya dan tidak
mementingkan kebahagiaanku semata hanya karena laki-laki. Aku telah
salah mengira kalau dia hanya sakit pura-pura. Aku telah dua puluh dua
tahun hidup bersama dengan Risti, barangkali ini salahku karena tidak
menjaganya dengan sangat hati-hati, malah mencemoohnya dan bersikap
tidak mau tahu. Aku mengutuk diriku sendiri, menangis sejadinya dengan
penyesalan selama kakiku tanpa lelah menembus koridor rumah sakit.
Kulihat Bagas duduk di kursi tunggu merenung, kemudian menatapku penuh
heran. Ternyata ia telah mendahuluiku. Tak peduli lagi, aku masuk
kedalam. Saat mendapati Risti terbaring lemah tak berdaya aku semakin
menangis tak terhenti, kuraih tangannya yang dingin dan kulihat sekujur
tubuhnya yang tak bergerak sama sekali. Lewat sentuhan itu, aku bisa
merasakan bagaimana rasa sakit itu sangat membuatnya menderita. Selang
oksigen yang menancap dihidungnya, infuse yang menembus lengannya dan
rasa sakit di dadanya itu, aku ingin berbagi denganmu Ris…
“Bangun Ris, aku disini.” Suaraku lirih membangunkannya, tersenyum aku
ketika melihat Risti akhirnya membuka mata dan menoleh kearahku untuk
menunjukkan senyum kecilnya.
“Rasti, kamu udah pulang?” aku senang mendengar suaranya yang sangat
teduh, tak kusangka ia masih sempat bertanya seperti itu kepadaku.
“Iya, Ris.. kamu jahat, kenapa gak kasih tahu aku kalau kamu sakit? Seharusnya aku bisa menjaga kamu.”
“Hey, jangan menangis, aku Cuma gak mau ganggu kencan pertama kamu.”
Air mtaku keluar lagi, ku belai rambut Risti dengan penuh kasih sayang.
“Gak adil, Ris. Kamu kesakitan disini sedangkan aku bersenang-senang
diluar sana.” Ya Tuhan aku tak tahu harus bagaiman mengatur suaraku
agar bisa berbicara seolah-olah aku kuat, karena sesunguhnya aku juga
lemah apabila melihat Risti menderita.
“aku minta maaf selama ini telah menyangkamu yang macam-macam, aku
sayang sama kamu. Kita dilahirkan sama, susah senangpun kita harus
bersama.” Suaraku gemetar, kugenggam kuat-kuat tangan Risti yang masih
dingin. “mulai sekarang aku janji gak akan mengecewakanmu dan akan
melakukan apapun untukmu asalkan kamu bisa sembuh,Ris...” Aku menarik
nafas, lantas tersenyum padanya.
“kalau kamu sudah sembuh dan pulang kerumah, kita akan bermain Atelier
Meruru lagi.” iapun tersenyum kepadaku lalu tertidur dalam penjagaa
Innda Syahida
Phone Number : +6281396687652
inndacalalo@yahoo.com
http://www.waferbook.blogspot.Bagaimana dengan Cerpen Sedih - Aku dan Saudara Perempuanku bagus bukan keren juga moga kalian suka jangan lupa di koment juga di share cerita yang satu ini salam dari aneka remaja selalu terdepan xixixix
Category Article Kata Kata






